Minggu, 29 Maret 2015

POROS MARITIM DUNIA DIMULAI DARI SAMUDERA HINDIA

Monumen Monjaya

Berkat perjuangan Djuanda Kartawidjaja yang mencetuskan deklasai Djuanda 13 Desember 1957, akhirnya luas wilayah Indonesia bertambah dua kali lipat dari sebelumnya, dari 2.027.087 Km  persegi menjadi 5.193.250 Km persegi deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia termasuk perairan sekitarnya dari kepulauan Indonesaia, membuat dunia mengakui bahwa bangsa ini adalah negara yang berdaulat. Padahal sebelumnya Deklarasi Djuanda dicanangkan , wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939. Pulau pulau di Indonesia hanya memiliki lautan di sekeliling wilayah sejauh 3 mil dar garis pantai. Dengan demikianb kapal asing boleh dengan bebas melintas laut yang memisahkan pulau pulau tersebut. Dengan adanya kedaulatan Indonesia dalam menguasai lautnya sekarang ssatnya mewujudkan Indonesia poros maritim dunia.
Poros Maritim sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Tercatat pada zaman kerajaan Sriwijaya tahun 860 Masehi, Indonesia yang saat itu dikenal dengan Nusantara sangat berdaulat di bidang kelautan / kemaritiman berkat armada laut yang kuat dan perdagangan laut yang besar di Nusantara.
Melalui program Poros Maritim yg bermaksud untuk mengembalikan kejayaan Indonesia di bidang laut. Terutama dengan posisi Indonesia yang sangat strategis diapit dua benua Asia-Australia dan diantara samudra Hindia-Pasifik. Sebagai poros maritim Indonesia berkepentingan untuk ikut menentukan masa depan kawasan Pasifik dan Samudra Hindia. Luasnya Indonesia yang diapit oleh dua samudera besar yaitu Hindia dan Pasifik adalah anugerah snag pencipta yang harus disyukuri untuk dikelola dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Akan tetapi ternyata Indonesia belum memanfaatkan sepenuhnya potensi kelautan yang ada di Samudera Hindia karena kebijakan pembangunan masih berorientasi ke pantai timur Sumatera dan pantai utara Jawa. Menurut fakta bahwa tidak kurang dari 65 persen minyak mentah dunia, 53 persen gas alam, 80,7 persen emas, 55 persen timah dan 77,3 persen karet alam terdapat di Samudera Hindia dan Negara Negara yang berbatasan denganya. Tidak hanya itu sepertiga dari total penduduk dunia ada sekitar 2 milyar jiwa berada di negara negara sekitar Smudera Hindia. Bahkan dari aspek pelayaran, lalu lintas perdagangan di samudra Hindia naik 470 persen dari tahun 1970 dan di perkirakan akan terus naik sampai 3 kali lipat sampai 30 tahun kedepan. Namun Indonesia sepertinya masih memunggungi Samudera inio dan belum memanfaatkan potensinya secara optimal.Jika diperhatikan peta wilayah Indonesia maka hamper sebagian besar menghadap ke Samudera Hindia dibandingkan dengan Samudra Pasifik. Di Samudra Hindia juga berpotensi akan hasil perikanan berupa ikan tuna sirip biru yang mahal harganya, selain itu juga terdapat sumber gas metana yang dapat dijadikan sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak.


Oleh sebab itu sudah saatnya kita menjadikan Samudera Hindia sebagai bagian dari halaman depan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperkuat dan meningkatkan kebijakan pemerintah. Samudera Hindia merupakan kawasan yang penting dimana sekitar 100 ribu kapal melintas tiap tahunya dengan nilai perdagangan mencapai 1,3 triliun dolar Amerika Serikat danpertumbuhan 9,3 persen per tahun.  Kondisi perikanan di Samudera Hindia pun masih menjanjikan dibandingkan dengan Samudera lain yang mengalami penurunan. Untuk itu dalam memaksimalkan pengelolaan samudera hindia didirikan IORA (Indian Ocean Regional Asosiation) pada Maret 1997 dengan Negara Negara pendiri seperti Afrika Selatan, Oman, Singapura, Australia dan India . Dan sekarang anggota sudah mencapai 20 negara di kawasan Samudera Hindia. Tujuan didirikanya IORA adalah untuk memajukan dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan pembangunan yang seimbang dari Negara Negara anggota. Dengan demikian mari kita Bangsa Indonesia dan seluruh masyarakat turut andil untuk mewujudkan Indonesia poros maritime dunia melalui tulang punggung Samudera Hindia.


Dikutip dari:
·         Materi kuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir, oleh Bapak Made Andi Arsana.  23 Maret 2015


Minggu, 22 Maret 2015

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT DENGAN MENERAPKAN PERINSIP PENGELOLAAN TERPADU


Dalam satu dekade belakangan ini, laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kerusakan fisik sumberdaya pesisir umumnya terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Berdasarkan survei line transect penutupan karang hidup, 6,20 % terumbu karang Indonesia yang masih berada dalam kondisi sangat baik, 23.72 % dalam kondisi baik, 28.30 % kondisi sedang dan 41.78 % dalam kondisi rusak (Suharsono 1998). Dari kondisi terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat Indonesia memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan timur Indonesia.
        Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun cyanida, dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dari lahan atas. Kegiatan perikanan destruktif ini tidak hanya dilakukan oleh nelayan tradisional, tetapi juga oleh nelayannelayan modern, dan juga nelayan asing yang melakukan kegiatan pencurian ikan di perairan nusantara.
      Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove. Selama periode 1982-1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 4 juta Ha menjadi sekitar 2,5 juta Ha (Dahuri et al 1996). Penyebab penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar, arang dan bahan bangunan. Konversi mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi di Propinsi Sunatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, konversi lahan mangrove menjadi kawasan industri dan pemukiman umum terjadi di kawasan padat penduduk seperti DKI Jakarta, Tanggerang dan Bekasi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung Timur.
      Rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang tersebut telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi pantai. Penurunan kualitas lingkungan ini menyebabkan banyak tambak tidak berfungsi dengan baik, rusaknya tempat pemijahan ikan (spawning ground) berkurangnya populasi benur dan nener, serta berkurangnya daerah asuhan perikanan (nursery ground). Erosi pantai juga diperburuk oleh perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir yang tidak tepat, pengambilan pasir pantai untuk reklamasi, hotel dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menutup garis pantai dan perairannya.
      Penanganan wilayah pesisir terpadu harus dimulai dari perencanaan. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu merupakan dasar bagi penyusunan dan alat koordinasi dari berbagai perencanaan pesisir yang bersifat sektoral dan dunia usaha yang menjadi asosiasinya serta perencanaan pembangunan daerah. Setiap daerah memiliki karakteristik, sosial budaya dan biogeofisik lingkungan pesisirnya serta kebijakan pembangunan daerah yang berbeda. Sehingga yang disusun setiap daerah akan berbeda dalam hal penentuan prioritas kebijakan, ruang lingkup dan tingkat rincian, tetapi pendekatan yang digunakan dan unsur-unsur  Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu tetap sama
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
1.  Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal
Integrasi perencanaan horisontal, mengintegrasikan perencanaan dari Sektor Pertanian dan Konservasi yang berada di DAS hulu, Sektor Perikanan baik budidaya tambak udang dan ikan maupun perikanan tangkap, Pariwisata alam dan bahari, Perhubungan Laut, Industri Maritim, Pertambangan Lepas Pantai, Konservasi Laut,  dan Pengembangan Kota.
2. Integrasi Perencanaan Secara Vertikal
Integrasi Perencanaan Vertikal meliputi integrasi kebijakan operasional dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kodya, Propinsi, sampai Nasional.
3. Integrasi antara ekosistem terestrial dengan marine.
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, menggunakan pendekatan batas-batas ekologis, dengan menempatkan Daerah Aliran Sungai sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari kegiatan pertanian dan industri serta pembangunan perkotaan di DAS hulu perlu diperhitungkan. 
4. Integrasi antara Sains dan Manajemen
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input sain yang memberikan berbagai alternative rekomendasi bagi pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik yang sosial-ekonomi budaya dan biogeofisik lingkungannya. 
5. Integrasi antara negara
Pada wilayah pesisir di perbatasan antar negara perlu di integrasikan kebijakan masing-masing negara, seperti di Selat Malaka.
       Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaan wilayah pesisir dilakukan secara terpadu dengan definisi yang jelas. Salah satu kunci dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu tersebut adalahadanya visi, tujuan dan sasaran bersama (common vision, goals and target), serta batasan-batasan pengelolaan pesisir wilayah.