Minggu, 22 Maret 2015

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT DENGAN MENERAPKAN PERINSIP PENGELOLAAN TERPADU


Dalam satu dekade belakangan ini, laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kerusakan fisik sumberdaya pesisir umumnya terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Berdasarkan survei line transect penutupan karang hidup, 6,20 % terumbu karang Indonesia yang masih berada dalam kondisi sangat baik, 23.72 % dalam kondisi baik, 28.30 % kondisi sedang dan 41.78 % dalam kondisi rusak (Suharsono 1998). Dari kondisi terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat Indonesia memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan timur Indonesia.
        Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun cyanida, dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dari lahan atas. Kegiatan perikanan destruktif ini tidak hanya dilakukan oleh nelayan tradisional, tetapi juga oleh nelayannelayan modern, dan juga nelayan asing yang melakukan kegiatan pencurian ikan di perairan nusantara.
      Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove. Selama periode 1982-1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 4 juta Ha menjadi sekitar 2,5 juta Ha (Dahuri et al 1996). Penyebab penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar, arang dan bahan bangunan. Konversi mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi di Propinsi Sunatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, konversi lahan mangrove menjadi kawasan industri dan pemukiman umum terjadi di kawasan padat penduduk seperti DKI Jakarta, Tanggerang dan Bekasi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung Timur.
      Rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang tersebut telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi pantai. Penurunan kualitas lingkungan ini menyebabkan banyak tambak tidak berfungsi dengan baik, rusaknya tempat pemijahan ikan (spawning ground) berkurangnya populasi benur dan nener, serta berkurangnya daerah asuhan perikanan (nursery ground). Erosi pantai juga diperburuk oleh perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir yang tidak tepat, pengambilan pasir pantai untuk reklamasi, hotel dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menutup garis pantai dan perairannya.
      Penanganan wilayah pesisir terpadu harus dimulai dari perencanaan. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu merupakan dasar bagi penyusunan dan alat koordinasi dari berbagai perencanaan pesisir yang bersifat sektoral dan dunia usaha yang menjadi asosiasinya serta perencanaan pembangunan daerah. Setiap daerah memiliki karakteristik, sosial budaya dan biogeofisik lingkungan pesisirnya serta kebijakan pembangunan daerah yang berbeda. Sehingga yang disusun setiap daerah akan berbeda dalam hal penentuan prioritas kebijakan, ruang lingkup dan tingkat rincian, tetapi pendekatan yang digunakan dan unsur-unsur  Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu tetap sama
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
1.  Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal
Integrasi perencanaan horisontal, mengintegrasikan perencanaan dari Sektor Pertanian dan Konservasi yang berada di DAS hulu, Sektor Perikanan baik budidaya tambak udang dan ikan maupun perikanan tangkap, Pariwisata alam dan bahari, Perhubungan Laut, Industri Maritim, Pertambangan Lepas Pantai, Konservasi Laut,  dan Pengembangan Kota.
2. Integrasi Perencanaan Secara Vertikal
Integrasi Perencanaan Vertikal meliputi integrasi kebijakan operasional dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kodya, Propinsi, sampai Nasional.
3. Integrasi antara ekosistem terestrial dengan marine.
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, menggunakan pendekatan batas-batas ekologis, dengan menempatkan Daerah Aliran Sungai sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari kegiatan pertanian dan industri serta pembangunan perkotaan di DAS hulu perlu diperhitungkan. 
4. Integrasi antara Sains dan Manajemen
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input sain yang memberikan berbagai alternative rekomendasi bagi pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik yang sosial-ekonomi budaya dan biogeofisik lingkungannya. 
5. Integrasi antara negara
Pada wilayah pesisir di perbatasan antar negara perlu di integrasikan kebijakan masing-masing negara, seperti di Selat Malaka.
       Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaan wilayah pesisir dilakukan secara terpadu dengan definisi yang jelas. Salah satu kunci dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu tersebut adalahadanya visi, tujuan dan sasaran bersama (common vision, goals and target), serta batasan-batasan pengelolaan pesisir wilayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar